Jumat, 19 November 2010

KACAMATA PANDANG DAN “BACALAH DENGAN ASMA RABB-MU”


Dalam Al-Qur'an, Surat 53/An-Najm, ayat : 1 :
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى
Wan-najmi idzaa hawaa,menurut Ibnu Abi Hatim dari Mujahid, ia memaknai ayat ini sebagai bintang kejora yang jatuh atau tenggelam bersama adanya fajar.
Menurut Adh-Dhahak : bintang yang dengan dilaksanakan Malaikat, Allah melempar syaithan-syaithan dengan bintang itu.
Memaknai ayat ini sebagai Al-Qur'an ketika turun adalah sebagaimana disebutkan di dalam ayat yang lain :
فَلاَ أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُوْمِ وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌ إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Maka Aku bersumpah dengan tempat orbitnya bintang-bintang. Dan kalau kalian mau tahu, sungguh itu adalah sumpah yang agung. Sesungguhnya ia adalah Al-Qur'an yang mulia. Al-Qur'an itu ada di Lauh Mahfudz yang terjaga. Tidak menyentuhnya kecuali yang suci. Al-Qur'an turun dari Rabb semesta alam (QS. 56/Al-Waqi'ah : 75-80).

Kacamata Pecundang Ketertipuan Diri

Digambarkan peternak gurun menyiasati gembalaannya yang tidak bernafsu makan rumput dan tumbuh-tumbuhan lainnya karena di musim itu hamparan luas padang gurun didominasi warna tumbuh-tumbuhan yang kering. Kemudian Peternak tiu mengenakan kacamata hijau pada gembalaannya. Maka banyak obyek yang dilihat binatang gembalaan itu berwarna hijau selayaknya tumbuh-tumbuhan yang subur.

Kacamata pecundang ketertipuan diri ini jika dipakai manusia memandang Malaikat,  yang dilihat luar biasanya Malaikat. Malaikat dipandangnya Tuhan.
Ketika sebagaimana nabi-nabi sebelumnya ada yang dibunuh oleh Yahudi, Nabi Isa divonis hukuman (mati) disalib, diperlihatkan penyandiwaraan penyaliban orang yang diserupakan Allah dengan Nabi Isa, maka dengan kacamata pecundang ketertipuan diri jenis ini dipandangnya sebagai keagungan dan kemuliaan menanggung penderitaan untuk missi penebusan dosa. Kemudian dipuja-puja, dan bahkan Nabi Isa dipertuhankan.
Ketika dipakai untuk melihat angan-angan surga di dunia, kacamata ini, pemakainya mempertuhankan surga dunia dan tidak mau tahu apa surga di akhirat itu. Surga di akhirat tak dapat dijadikan tempat menggantungkan cita-cita sedangkan surga di dunia bisa dipertuhankan. Ini agama materialisme yang menjadi racun mencandui masyarakat

Kacamata Komite Anti Otoritas Kitab-kitab Allah.

Otoritas Kitab-kitab Allah berarti daya, kekuasaan dan kewenangan mengatur dengan hukum, perintah dan larangan serta ketentuan-ketentuan pada kehidupan manusia yang berlaku mengikat
Disebut sebagai kacamata Komite Anti Otoritas Kitab-kitab Allah karena kacamata ini hanya bisa dipakai untuk melihat apabila dikenakan oleh orang yang committed, berkomitmen, terikat dengan aqidah dan doktrin bahkan sumpah demi missi melawan otoritas Al-Kitab (yang kini adalah Al-Qur'an)
Orang-orang Yahudi mempunyai korporasi-korporasi multinasional yang dapat membeli hati manusia dimainkan dalam game dengan apa saja untuk memakai kacamata ini.
Termasuk yang paling menonjol dalam memainkan game ini adalah House of Rothschild. Pendirinya Meyer Amschel Rothschild (1743-1812) dari Fankfurt, Jerman, menjadikan satu dari lima orang anaknya tetap di rumah untuk menjalankan bank Frankfurt dan mengirim lainnya ke London, Paris, Wina dan Napoli. Keluarga Rothschild manjadi kaya dengan kekayaan yang hampir tak dapat dipercaya selama abad kesembilan belas dengan membiayai pemerintahan untuk berperang satu dengan lainnya.
Profesor Stuart Crane menulis : "Kalau Anda mau melihat kembali pada setiap peperangan di Eropa selama abad kesembilan belas, Anda melihat bahwa peperangan tersebut selalu berakhir dengan tercapainya perimbangan kekuatan. Pada setiap perubahan susunan (reshuffle) selalu ada perimbangan kekuatan dalam suatu pengelompokan baru di sekeliling keluarga Rothschild di Inggris, Perancis atau Austria. Mereka membagi bangsa-bangsa dalam kelompok-kelompok sehingga apabila seorang raja ( pemimpin negara) menyimpang, perang akan berkobar dan perang tersebut akan ditentukan oleh kemana mengalisrnya bantuan keuangan. Dengan meneliti posisi hutang dari bangsa-bangsa yang sedang berperang biasanya akan terlihat siapa yang harus menerima hukuman. (Gary Allen; Non Dare Call It Conspirasi)
Kacamata ini membuat standard-standardnya sendiri, sehingga pembenar otoritas dan originalitas Al-Qur'an dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat demokratis, humanis dan dianggapnya lebih beradab. Bahkan pembenar otoritas dan ariginalitas Al-Qur'an, identitas dan profilenya ditanamkan pada publik sebagai personifikasi karakter kekerasan, distigma jahat, dan dicap fundamentalis radikal sumber terorisme dan masyarakat dunia pada umumnya tidak bisa membantahnya karena standard-standard yang dibuat kacamata ini telah diterapkan di dunia Islam mengambilalih cara pandang yang diwahyukan Allah dalam kitab sucinya sendiri.

Dalam Tafsir DR. Muhammad Hasan Al-Hamshy disebutkan :
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ
Maa dhalla shaahibukum diartikan bahwa tidaklah Muhammad Rasulullah itu tersesat dari kebenaran dan petunjuk
وَمَا غَوَى
Wa maa ghawaa : dan tidaklah beliau berkomitmen kebatilan.
Dalam Surat Al-Faatihah orang yang tersesat dari kebenaran dan petunjuk itu disebut adh-dhaalliin
Dan yang berkomitmen kebatilan, penentangan terhadap kebenaran dan petunjuk disebut sebagai yang dimurkai atau al-maghdhuub 'alaihim.


Cara Pandang Kenabian :

Sejak awal, sebelum wahyu-wahyu berikutnya diturunkan, pertama kali wahyu Al-Qur'an membersihkan Rasulullah dari kacamata pecundang ketertipuan diri, kacamata Komite Anti Otoritas Kitab-kitab Allah maupun kacamata lain manapun. Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa memerintahkan kepada Rasulullah untuk menanggalkan semua kacamata itu dan memerintahkan beliau menggunakan daya pandang original, otentik yaitu yang asli sebagaimana fitrah diciptakannya manusia, yaitu cara pandang dengan asma Rabb-nya.
إِقْرَأْ بِسْمِ رَبَّكَ الَّذِى خَلَقَ
Iqra' bismi-Rabbikalladzii khalaq (Bacalah dengan asma Rabb-mu yang Maha Menciptakan).

Subyektifitas maupun obyektivitas atas nama selain Allah, seluruhnya ditanggalkan dan hanyalah cara pandang kenabian yang disandang

Cara pandang wahyu yaitu cara pandang kenabian itu disebutkan Allah dalam firmannya :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى  إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
Wa maa yanthiqu 'anil-hawaa in huwa illaa wahyuy-yuuhaa, artinya dan tiadalah ia berbicara atas nama hawa nafsu melainkan adalah wahyu yang diwahyukan Allah.
Inilah cara pandang orang-orang yang mentaati perintah Allah, mengikuti apa yang diwahyukan-Nya (QS. 10/Yuunus : 109) dengan melaksanakan sunnah Rasulullah.
Bukan orang yang perfected merasa cukup dengan melaksanakan sunnah Rasulullah yang tidak dalam rangka melaksanakan Al-Qur'an

Dengan cara pandang kenabian orang tidak perlu ikut-ikutan menggunakan standard nilai demokratis, humanis, inklusif yang tidak jelas untuk menggantikan standard nilai ilahiah, Qur'ani. Standard nilai demokratis, humanis dan inklusifisme yang diarahkan bebas dari peran Tuhan dan liar nilai ilahiah mendekonstruksi otoritatifnya kitab-kitab Allah dipromosikan untuk konspirasi pemerintahan dunia, merekayasa dan sepenuhnya mengendalikan iklim kehidupan yang setiap penerapan standard nilai kenabian yang Qur'ani otomatis dipandang sebagai ancaman terhadap masyarakat internasional, hak-hak asasi manusia dan demokratisasi. Dengan cara pandang kenabian yang tidak dusta (shidiq), tidak khianat (amanah), tidak menyembunyikan kebenaran (tabligh) dan tidak mempertentangkan akal dengan kebenaran Al-Qur'an yang datang dari Allah (fathanah) inilah Rasulullah distigma, didakwa dan dikampanyekan sebagai tukang tenung, tukang sihir, orang gila dan ahli syair yang membuat Al-Qur'an sebagai karya sastra. Semua tuduhan itu dalam rangka menggunakan kacamata Komite Anti Otoritas Kitab-kitab Allah, menentang otoritas kebenaran Al-Qur'an. Menghadapi penentangan ini Allah Subhhaanahu wa Ta'aalaa menegaskan kepada Rasulullah agar tetap pada keimanan dan tegas memberi peringatan kepada manusia akan berlakunya standard nilai menurut Allah.

فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلاَ مَجْنُوْنٍ  أَمْ يَقُوْلُوْنَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُوْنِ قُلْ تَرَبَّصُوْا فَإِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُتَرَبِّصِيْنَ
Maka berilah peringatan. Dengan nikmat (ajaran hidup) Rabbi-mu tidaklah engkau tukang tenung, bukan pula gila. Ataukah mereka mengatakan engkau adalah ahli sya'ir yang kami tunggu giliran saatnya tiba kebinasaannya. Katakan hai Muhammad :"Tunggulah, sesungguhnya kami bersama kalian menunggu (siapa yang akan terkena giliran celaka) (QS. 52/Ath-Thuur : 29-31)

Missi kacamata pecundang ketertipuan diri, kacamata Komite Anti Otoritas Kitab-kitab Allah itu kenyataannya tetap hadir setiap masa sebagai realitas aktual  mutakhir. Demikian pula pada kurun mutakhir saat ini, dapat menjadi jelas dengan sabda Rasulullah ketika menjawab pertanyaan  sahabat.
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah tentang akan berlakunya kebaikan setelah kejahatan menggantikan kebaikan yang pertama pada zaman Rasulullah
Rasulullah menjawab:
نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ
Ya, tetapi ketika itu terdapat kekurangan dan perselisihan.

Kemudian kata Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu 'anhu : Aku bertanya apakah yang dimaksudkan dengan kekurangan dan perselisihan itu?
Rasulullah menjawab dengan bersabda :
قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ
Yaitu satu kaum yang tidak beramal dengan sunnahku dan mengikuti selain dari jalanku, di antara mereka itu ada yang kamu kenali dan ada yang kamu tidak mengenalinya.

Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu 'anhu bertanya lagi : Adakah kejahatan akan berlaku lagi setelah itu?
Rasulullah menjawab:
نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
Ya, ketika itu ada orang-orang yang menyeru atau mengajak manusia ke Jahannam, siapa yang menuruti ajakan mereka, maka orang itu akan dicampakkan ke dalam Jahannam itu.
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu 'anhu berkata lagi: Wahai Rasulullah! Sifatkan mereka kepada kami.
Rasulullah menjawab:
قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
Baiklah, mereka adalah sebangsa dengan kita dan berbahasa seperti bahasa kita.
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu 'anhu bertanya lagi : Wahai Rasulullah! Apakah pendapatmu sekiranya aku masih hidup lagi ketika itu?
Rasulullah menjawab dengan bersabda :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
Kamu hendaklah bersama dengan jamaah umat muslimin dan pemimpin mereka.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar